Kecerdasan sosial Anies Baswedan Menyentuh Penulis Makanya Mikir

Oleh Admin, 1 Okt 2025
Momen menarik terjadi dalam sebuah sesi diskusi di ajang Indonesia International Book Fair (IIBf) 2025, ketika tokoh nasional Anies Baswedan terlibat dalam perbincangan ringan namun mendalam bersama Abigail Lumuria, penulis buku Makanya Mikir.

Diskusi yang awalnya dijadwalkan sebagai bincang santai soal literasi dan kebiasaan berpikir kritis, berubah menjadi pertemuan ide yang tak terduga, khususnya bagi Abigail.

Abigail, adalah penulis muda yang dikenal lewat gaya penulisannya yang tajam dan penuh sindiran halus, mengaku terkejut saat mendengar jawaban Anies Baswedan atas pertanyaannya tentang “apa makna berpikir dalam kehidupan sehari-hari.”

“Pertanyaan saya sebenarnya sederhana dan agak provokatif”, ujar Abigail. “Saya ingin tahu apakah beliau melihat berpikir itu sebagai sesuatu yang elits atau justru membumi. Tapi jawabannya sungguh di luar dugaan “.

Anise menjawab dengan pendekatan filosofis yang menggabungkan refleksi personal, prinsip pendidikan, hingga nilai kemanusiaan.

“Berpikir  bukan sekadar proses intektual, tapi cara kita menghargai sesame. Ketika kita mau berpikir, kita sedang menahan diri untuk tidak menghakimi. Kita belajar memahami, bukan sekadar membalas,” ujar Anies dalam forum tersebut.

Jawaban ini sontak disambut tepuk tangan para hadirin. Abigail, yang awalnya berniat meberi sedikit “tantangan intelektual” kepada Anies, justru mengaku mendapatkan perspektif baru.

“saya benar-benar tidak menyangka. Beliau menjawab tidak dengan jargon, tapi dengan kedalaman yang jujur dan membumi. Itu tanda kecerdasan sosial yang langka, “kata Abigail setelah diskusi.

Anies dan Kecerdasan Sosial

Fenomena ini mengaskan persepsi public tentang Anies sebagai sosok dengan kecerdasan sosial yang tinggi. Dalam berbagai kesempatan, ia memang dikenal mampu membaca situasi, merespons dengan empati, dan menyampaikan gagasan kompleks dengan bahasa yang mudah dimengerti. Hal inilah yang tampak saat ia berdialog dengan Abigail, bukan beradu argument, tapi saling membuka ruang pemahaman.

Bagi Abigail, momen ini bukan hanya memperkaya isi diskusi, tetapi juga menjadi refleksi pribadi tentang pentingnya kesadaran sosial dalam berpikir.

“Kita sering menganggap kecerdasan itu soal IQ tinggi atau logika tajam. Tapi hari ini saya diingatkan bahwa kecerdasan juga berarti tahu kapan harus diam, mendengar, dan merangkul sudut pandang orang lain,” ujarnya.

Pentingnya Ruang Diskusi Terbuka

Interaksi antara Anies dan Abigail menunjukkan bahwa ruang diskusi public seperti IIBF tidak hanya mempertemukan buku dan pembaca, tetapi juga menyatukan pemikir lintas generasi dalam suasana yang inklusif. Bagi generasi muda, khususnya, ini menjadi contoh nyata bagaimana berpikir kritis tidak selalu berarti menyerang, melainkan membangun jebatan pemahaman.

Anise menutup sesi dengan pernyataan singkat namun kuat: “Berpikir bukan nuntuk merasa lebih unggul, tapi agar kita bisa hidup bersama dengan lebih bijak.”

Kalimat itu kebali mebuat Abigail terdiam sejenak, dan kemudian mengangguk dalam. “Mungkin ini alasan kenapa buku saya perlu dibaca lebih banyak orang. Bukan agar orang pintar, tapi supaya kita semua belajar untuk…makanya mikir,” ujarnya sambil tersenyum.

Artikel Terkait

Artikel Lainnya

 
Copyright © KilatUnik.com
All rights reserved